Friday, July 24, 2015

"Pingin nikah aja"=rengekan andalan

Rutinitas yang sedang saya, atau mungkin kamu juga tekuni, kuliah. Semakin naik tingkat, waktu istirahat pun semakin singkat. Bagaimana tidak, kian waktu dosen semakin bejibun memberikan berbagai tugas yang harus dikerjakan dalam waktu yang ditentukan, pula dengan schedule dan kesibukan yang tidak ditentukan. Semua itu membuat mahasiswa sibuk dengan pikiran tentang tugas. Walaupun ada yang disibukkan dengan nugas, pun ada yang melulu disibukan dengan pikiran tentang tugas, dikerjainnya mah engga, nanti aja kalau mepet. Seperti-saya-hehehe. Tapi ga sering ko, bener.
“Ya Allaah, AKU MAH PINGIN NIKAH AJA”. Begitulah ucapan yang akhir-akhir ini sering saya dengar dari teman-teman di kampus. Utamanya jika kita sedang berada dalam suatu bulatan mengerjakan suatu tugas kelompok. Kalau tugasnya tidak simple, entah itu pertanyaannya yang banyak, susah ditemukan jawabannya, atau dirinya sedang dihinggapi rasa malas, begitulah mulutnya berbicara. Pingin nikah aja. Seolah menikah adalah fase untuk istirahat dari berbagai masalah.
Mungkin dia lelah. Lelah akan segala tektek bengek perkuliahan. Tugas yang menggunung, godaan malas yang mendera, dosen yang tak sepemikiran, teman yang bermacam karakter, organisasi, dan lain-lain. Padahal, kata imam syafi’i; “bila kamu tak tahan lelahnya belajar, maka kamu akan menanggung perihnya kebodohan”.
Pun menikah. Kata seseorang yang ketika itu sedang ngobrol dengan saya, mengatakan bahwa menikah itu bukan suatu ajang untuk melepas berbagai kepenatan hidup, justru menikah harus lebih membutuhkan kesiapan dan kedewasaan mental yang lebih, menikah itu salah satu sekolah hidup. Dan saya setuju. Saya menimpali, membetulkan tanggapannya dan mengatakan bahwa, justru ilmu lah yang penting kita cari sekarang, karena apa, karena segalanya membutuhkan ilmu, “jangan beramal tanpa ilmu”. Belum lagi urusan yang makin terbagi-bagi, karena menikah bukan lagi hanya tentang aku, tapi kita, keluarga. Apalagi perempuan, “tanah yang baik akan mengahasilkan tanaman yang baik”.
Tidak berarti kontra pada pernikahan saat masih mahasiswa, tapi lebih ke rengekan “pingin nikah aja” saat mencari ilmu, can you stop it and fight first for having knowledge, insight and experience (?) :D

Muslimah, jangan lupa bahwa dirimu berharga

Sumber: Google
Berangkat dari ketidaknyamanan saya menyaksikan maraknya perempuan islam yang semakin berani untuk mempublikasikan kecantikan, mengeraskan suara, memperbanyak bicara dengan lawan jenis yang bukan mahramnya dengan nada centil dalam obrolan yang tidak penting, akhirnya saya memberanikan diri menulis ini. Mencurahkan segala keluh akan hal tersebut. Karena sudah sejak lama ingin menulis ini, namun terhambat perlawanan “memang aku sudah sepintar apa dalam hal agama?”, “tanpa disadari aku juga pernah dan mungkin akan berlaku seperti itu?”, tapi setidaknya dengan menulis ini dan ada yang membaca ini, nantinya akan ada yang mengingatkan jika memang saya berlaku begitu. Entah itu kamu yang sedang membaca tulisan ini, atau diri saya sendiri yang mengingatkan.
Disini saya hanya akan memberikan pemaparan mengutip dari beberapa narasumber yang saya pernah ikuti. Saya pernah ikut seminar kemuslimahan bersama teh Maimun (dosen Fikom Unpad), katanya begini “Perempuan itu cantiknya hanya untuk Dia dan dia. Laki-laki itu liat wajah aja udah ‘sesuatu’, apalagi kalau ga ditutup auratnya. Tidak usah berniat berpenampilan supaya dipuji manusia. Maka dari itu LABUHKAN JILBABMU SAMPAI MENUTUP DADA, pakai pakaian yang ga ketat. Yang menutup aurat, bukan yang membungkus aurat”. Kalau kata Ust. Felix “Islam itu didominasi oleh kaum perempuan, karena itulah mengapa kaum yahudi berusaha menjajah islam di area akhlak para muslimah. Kenapa muslimah? Selain karena islam didominasi perempuan, pun karena muslimah ibarat tanah yang nantinya akan menghasilkan tanaman, yang jika tanah itu baik maka baik pula lah tanaman yang tumbuh. Namun jika tanahnya kacau, maka jelek pula lah tanamannya.”
Siapalah saya yang berani-berani menulis ini. Namun karena sayang, pun sedang berusaha untuk menjadi yang lebih baik. Dan saya tidak mau sendiri dalam perbaikan ini :)
Muslimah, jangan lupa bahwa diri kita berharga.


Soreang-Bandung, 22 Mei '15

Friday, April 10, 2015

Kami Butuh Jembatan, Jatinangor

Di siang hari yang dingin kala itu, aku bergegas pulang dengan satu benda nyaris berbentuk bulat melayang diatas kepala. Air hujan masih betah menghentak tanah-tanah Jatinangor. Setelah keluar dari kawasan kampus melewati gerlam (gerbang lama), aku menyusuri beberapa roda penjual berbagai macam makanan beserta pemiliknya dan beberapa insan yang sedang menunaikan hak perut mereka. Area jalan yang secukupnya itu membuatku sesekali harus mengangkat atau memiringkan payung jika berpapasan dengan orang lain dari arah berlawanan.
Sampailah saya di pertigaan jalan raya. Banyak kendaraan-kendaraan jumbo yang lewat disana. Karena memang, katanya, jalan Sumedang itu banyak digunakan sebagai jalur alternatif lintas provinsi.
Saya, yang sedari beberapa menit yang lalu masih mematung di pinggir jalan, belum juga berani untuk melangkah melintas karena terjebak banjir dan terjebak ketakutan. Takut menyebrang, karena saat itu kendaraan sungguh banyak, belum lagi banyak motor yang ngebut karena mengejar tujuan untuk berteduh.
Tapi badai pasti berlalu, kendaraan pasti melaju, sebrang jalan masih menunggu. Akhirnya saya sampai di sebrang jalan walaupun dalam keadaan bersepatu basah. Tak apa, biar dibersihkan di kosan, daripada harus menunggu lama dipinggir jalan, kataku dalam hati.
Bagaimana tidak basah, jalan raya yang sudah bolong-bolong itu menjadi tempat genangan air jika hujan turun. Belum lagi jalan besar itu dilalui oleh banyak kendaraan besar yang jika melewati bolongan jalan akan mencipratkan air ke pinggiran jalan.
Setelah berhasil melewati genangan air beserta benda-benda yang melaju kencang, saya menyusuri jalan yang lebih lengang dari sebelumnya. Hingga, kenapa tidak dibuat jembatan penyeberangan saja disana?. Banyak para pelajar yang menyeberangi jalan itu ketika pulang pergi ke kampus. Entah saya yang belum faham akan sebab kenapa pengurus setempat tidak menyediakan jembatan penyeberang. Entah apa.

Monday, February 16, 2015

Aku Pernah

Setelah turun dengan lebat, hujan diluar mulai mereda rintik-rintik. Muda-mudi mulai lagi hilir mudik. Tapi di suatu ruangan....

"Kamu pernah berpapasan di pinggir jalan raya dengan sesosok ibu yang tanpa basa-basi meminta uang dengan muka melas dihadapanmu? Aku pernah.
Pernahkah karyamu tidak diapresiasi dan dia berkata bahwa karyamu itu buatan si Fulan dan bukan buatanmu? Aku pernah.
Kamu pernah menangis ketika shalat setelah kamu mendapatkan kebahagiaan tiada tara? Aku pernah.
Kamu pernah merasa bahagia hanya karena merasakan dingin dan segarnya air wudhu di waktu shubuh? Cobalah, syukur dan bahagia ternyata tak harus dengan banyak digit angka.
Pernahkah kamu merasa rindu dengan salah satu keluargamu yang sudah meninggalkanmu terlebih dulu ke sisi-Nya? Aku setiap detik.
Pernahkah kamu merasa bahwa kamu akan mati besok? Aku sedih karena aku tak sering merasakan itu.
Apakah kamu selalu bertanya-tanya mengapa kita tak merasakan goncangan padahal planet kita ini berputar dan bergerak, mengapa langit dapat terhampar diatas sana padahal tak bertiang, mengapa kita bergerak padahal manusia tak ada kabel listrik atau tempat batrainya? Aku pernah."

Dan cicak yang sedari tadi hinggap di langit-langit kamar itu enggan bergerak seolah seksama mendengar celotehan Fahda padanya.

Sunday, February 15, 2015

Manglayang on Top

Sabtu, 17 Januari 2015. Saya, Nida, Widi, Lady, Safa, dan Fatima. Enam orang perempuan berkerudung bermodal tekad (baca: nekad) memulai langkahnya dari kaki Gunung Manglayang. Untuk saya dan Safa, ini kali kedua kita "nanjak" bareng setelah berhasil menempuh jalur Gunung Papandayan yang saya telah bagikan momennya pada tulisan yang lalu.
Disana, di kaki gunung, di salah satu pohon pinus, terpampang beberapa petunjuk yang ada arah panahnya menunjukan jalur ke beberapa tempat tujuan. Kita kira untuk sampai ke puncak, diharuskan melewati batu kuda yang sebenar-benarnya batu. Jadilah kita memilih jalan menuju tempat dimana batu yang khalayak sebut Batu Kuda itu berada.
Sesampainya kita di tempat Batu Kuda, kita kebingungan karena di tempat itu tidak ada apa-apa selain batu besar yang kita yakini sebagai "Batu Kuda". Dan kita tidak tahu lagi trek mana yang harus ditempuh. Untung saja tak jauh dari tempat kita berhenti, ada seorang lelaki yang lebih pantas kita panggil "bapak" sedang terdiam seperti sedang menjalankan tugasnya menjadi kuncen, hehe. Setelah kita bertanya padanya, bapak itu lalu menjawab "seharusnya dari jalan yang pertigaan tadi neng-neng ga usah belok, lurus aja ke jalan yang nanjak, jalan sini mah muter", ooh ternyata kita menempuh jalur yang kurang tepat. Tapi tak apa-apa. Pasti selalu ada hikmah. Setelah kita dan sang bapak saling tanya jawab dan mendapatkan arahan untuk sampai ke puncak, kita melanjutkan perjalanan. Disana mulai terdengar bisikan angin yang berbentur dedaunan. Mendamaikan.
Bagaimanapun keadaannya, khawatir, lelah, takut, tapi karena kita bersama, semuanya hilang terbenam canda tawa. Bayangkan saja, kita yang hanya enam orang perempuan dan tak ada satu orang pun diantara kita yang berpengalaman menempuh puncak Manglayang, memberanikan diri mengayun langkah tanpa sosok dhahir yang lebih kuat dari kita, dengan perlengkapan dan perbekalan seadanya pula. Tapi iya, dari sini kita belajar dan jadi banyak tahu.
Sesekali kita berhenti. Berfoto. Melangkah lagi. Semakin atas, semakin atas, semakin terasa seperti sembilan puluh derajat kemiringan trek yang kita tempuh. Lelah ada, namun ketika kita berhenti sejanak dan melihat ke belakang, lelah itu terbayar oleh hamparan sebagian bumi yang kita lihat dari sana. Shubhanallaah.

Bahagia sekali rasanya ketika kita menemukan papan nama yang tertempel di pepohonan bertuliskan "puncak". Karenanya kita menyangka bahwa puncak gunung hanya tinggal beberapa langkah lagi, tak kurang dari lima puluh langka, disangkanya begitu. Tapi ternyata tidak, ternyata kita masih belum menemukan tanda-tanda bahwa kita dekat dengan puncak. Saya sempat takut kalau ternyata kita menapaki jalur yang salah. Tapi teman-teman selalu menjadi alasan untuk bisa menepis keraguan. Jalan saja terus.
Tiga kilometer, 1818 mdpl, akhirnya berhasil kita tempuh.Sudah tak peduli dengan bersih, kita langsung selonjoran di tanah. Tak jauh dari tempat kita duduk, terdapat makam. Dan dari arah yang berlawanan, terdapat plang berwarna biru menancap ke tanah bertuliskan "PUNCAK MANGLAYANG 1818 MDPL" yang sudah tercemari oleh ulah tangan yang gatal ingin mencoretinya.

Setelah beberapa saat kita "anteng" di puncak, kita turun melalui jalur yang sama. Bedanya ketika turun, sudah banyak para pendaki yang kita temui. Berbeda dengan saat kita naik, karena memang kita sengaja naik gunung masih pagi. Dan memang kata bapak yang tadi memberikan arahan ketika kita di Batu Kuda, "umumnya para pendaki memilih naik pada siang atau sore hari, apalagi kalau hari sabtu dan minggu", begitu katanya.
Sampai saat ini saya belum menemukan tempat yang lebih nyaman untuk dijadikan tempat liburan selain hijaunya dedaunan. Merdunya semilir angin dan deru ombak. Puasnya meniti puncak. Alam. Dan kalian, teman-teman.
Terima kasih. Masih banyak tempat-tempat indah yang belum kita jajaki. Semoga diridhai.

Saturday, January 24, 2015

Merpati Tahu Kemana Harus Pulang

Pernah lihat orang yang sedang menerbangkan merpati?. Di pedesaan apalagi, sering kita dapati pemandangan sekumpulan manusia yang sedang menerbangkan merpatinya masing-masing. Wushhhhh, merpati terbang di udara. Terbang lepas dari tangan-tangan pemiliknya.
Sebelum mengetahui esensi dari kegiatan tersebut, saya tak acuh. Saya kira itu kegiatan yang tak ada gunanya dan dilakukan hanya untuk kepuasan tersendiri bagi pemiliknya selaku penyuka merpati. Karena ya begitu-begitu saja, merpati terbang, pulang lagi, dilepaskan lagi, hinggap di tangan lagi, begitu saja terus-menerus.
Tapi ternyata salah, praduga saya salah.
Akhirnya saya tahu bahwa merpati diterbangkan bukan tanpa karena. Ternyata itulah cara untuk melatih insting merpati pulang ke asalnya.
Kalau diamati, merpati selalu terbang dan pulang tanpa tersesat. Katanya, menurut penelitian, merpati mampu terbang pada ketinggian 6.000 kaki atau lebih, dengan kecepatan terbang rata-rata 77,6 km/jam (ada juga yang mencapai 92,5 km/jam), tapi dia mampu kembali ke tempat asal dengan tepat. Kenapa?. Setelah dilakukan serangkaian penelitian oleh para ahli, ternyata burung merpati memiliki indera penciuman yang sangat tajam, sehingga dia dapat pulang lagi ke tempat asal yang baunya sudah melekat atau tidak asing bagi penciumannya. Selain itu, merpati juga mampu merasakan medan magnet bumi yang dimanfaatkannya untuk memandu kemana ia harus terbang dan kembali lagi. Jadi, sang pemilik merpati selalu melepaskan dan menyambutnya dengan tangan bertujuan agar insting merpati semakin kuat.
Merpati juga setia. Disaat menginjak usia dewasa, layaknya manusia, dia akan naksir merpati betina yang lalu didekatinya. Merpati dapat mengenal pasangannya masing-masing dengan tepat. Setelah mereka saling mencintai biasanya kedua merpati akan membuat sarang bersama-sama. Bahu-membahu membangun tempat tinggal untuk mereka bersama. Dan merpati jantan tidak akan berpindah pada merpati betina yang lain. Merpati jantan setia pada satu. Merpati tak kenal mendua. Mungkin ini alasan merpati dijadikan simbol kesetiaan.


Unik. Mari belajar dari burung merpati yang tahu kemana ia harus pulang. Yang tak bingung ketika mendapat perintah untuk mengirim surat dari sang majikan. Yang tak malas memanfaatkan anugerah Tuhan untuk meniti jalan kembali ke tempat tujuan. Yang tak sampai hati beralih pandangan ketika sudah bersama dengan pasangan. Sejati. Setia.

Thursday, January 22, 2015

Apa Kabar Masa Kecil Anda?


 Zaman yang semakin maju dan tak karuan ini membuat beberapa hal yang dulu akrab menemani kita saat masih kecil kini mungkin adalah hal yang sudah jarang atau bahkan tidak pernah dilirik lagi oleh anak-anak di masa sekarang. Padahal mereka lebih mendamaikan dan menyenangkan. Masa kecil kini diisi oleh hal yang dinilai lebih rumit dan tidak sesuai dengan fasenya. Anak kecil yang pantasnya menyanyi lagu-lagu anak kini lebih hafal lagu-lagu dewasa yang liriknya belum pantas dikenal oleh mereka. Yang pantasnya bermain congkak, bepe-bepean, kini sudah teralihkan oleh alat yang lebih canggih dan instan. Pada masa kini tak sedikit kita lihat anak kecil yang sudah ahli memainkan gadget.
Rasa rindu akan sesuatu di masa dulu itu yang mendorong saya menulis ini. Betapa bahagia dan menyenangkannya masa kecil saya. Masih ingatkah benda apa saja yang dulu membuat masa kecil kita menyenangkan?. Sesuatu yang dulu kita anggap biasa atau bahkan dulu kita ingin yang lebih dari itu, tapi ternyata justru mereka lah yang kita rindukan sekarang. Yuk lirik sejenak mereka yang menemani masa kecil kita:



Ice Mony. Inilah es yang populer di zamannya. Sekarang sudah tak pernah lagi saya lihat ini. Mungkin sudah tergantikan oleh jenis atau merek es yang lebih menggiurkan.




Nah ini dia salahsatu jajanan yang sering saya beli ketika sedang istirahat sekolah. Yang bisa dibuat berbagai macam bentuk itu loh. Kita bisa request mau dibuatin bentuk apa aja ke mang-mangnya. Kalau yang bentuknya ayam itu bisa ditiup dan mengeluarkan bunyi. Sekarang gulali ini entah masih ada atau tidak :(




Kalau ini es yang diserut yang sambil dibawahnya ada cetakan yang bisa membentuk sesuai keinginan kita. Bentuk cetakan yang paling saya ingat itu yang bentuknya kura-kura, karena dulu saya suka jajan yang bentuknya kura-kura hehe. Diberi warna semau kita juga.




Kalau ini mah jajanan kesukaan saya pisan. Susu ini sebenernya bisa diseduh, tapi saya lebih suka dimakan langsung tanpa diseduh. Kangen.




Mungkin dari snack ini istilah "chiki" jadi populer. Jadi chiki yang sebenar-benarnya chiki itu yang ini. Sampai sekarang mau snack merek apapun disebutnya ya chiki. Masih ingat?




Ini dia pensil favorit saya dulu. Tidak perlu nyerut. Yang isinya bisa diganti-ganti itu, yang tinggal dimasukin ke atas pensil. Tapi kalau isi pensilnya hilang satu saja, tamat.




Hayooo yang ga pernah nyoba ini dan ga tau relasi antara keduanya, coba ingat-ingat lagi :D




Sampul buku yang gambarnya seperti ini masih ada tidak ya?



Mereka mungkin terlihat biasa, tapi membuat masa kecil saya luar biasa. Apa kabar masa kecil anda? ^^



Tuesday, January 20, 2015

Menyapa Pagi


Aku terbang melayang di awang-awang memandang kabut berteman hembus angin pagi. Ini tentang syukur. Ini tentang bahagia. Yang seluruh insan berhak menjiwainya. “Hey nak, mengapa tak kau ambil wasilah yang kusodorkan ini?”. Sering terlupakan dan dianggap kurang memikat padahal buahnya nikmat. Begitupun syukur. Aku membayangkan mungkin begitu Tuhan berbisik seperti seorang dewasa yang sedang membujuk bocah. Beri aku ma’af Tuhan. Ribuan pasir pantai dan buih lautan pun masih tak seberapa dibanding nikmat-Mu yang sering aku nafikan. Tidak sakit hatikah Kau pada jiwa yang tak tahu malu ini?. Yang meminta setiap detik dan mengeluh tanpa titik. Tapi jangan, jika kau menjauh, lantas dari siapa lagi aku menimbun kekuatan selain dari Kau yang Maha Kuat. Sumbernya.
Ada lengkung bulan sabit di pagi hari. Aneh. Oh, bukan. Itu senyum orang tuaku. Bibirnya bersinar tamah menyapa sadarku. Tulus.
Hembusan angin pagi ikut serta menyapa setelah kubuka jendela dan menyapa semesta. “Selamat pagi semesta”, ku berbisik dalam hembusan angin. Biarlah itu terekam. Biarlah angin membawa suara itu mengitari alam raya. Biarkanlah dia menyampaikannya. Semesta, itu dariku, seorang yang kini sedang ditemani kepulan asap dari segelas teh hangat. Sudikah kau menemaniku menikmati ini?. Mari sini.

Diam. Jangan dulu mengganggu. Benar-benar inginku pagi ini bercumbu dengan sang pagi. Hanya aku dan nya. Dia mendamaikan. Menyejukkan. Tanpa maksud ku membenci siang. Kabut, janganlah dulu pergi. Kau indah. Menutup peliknya miniatur duniawi. Biarkan begini saja. Hanya putih bersih.
Namun akhirnya perlahan kabut menyeruwak kabur ketika sang surya menerpa. Pagi hilang berganti siang. Bulan sabit tak perlu terbalik. Siang pun menangguhkan.

Pagi, selamat berjumpa kembali esok hari. Jika Dia merestui.

Tuesday, January 13, 2015

Contact



Facebook:
Choerina Badriyah

Twitter:
@ch_rinaa

Email:
rinarain79@yahoo.com

Wednesday, January 7, 2015

Membanding-bandingkan Anak, Bolehkah?

Tak sengaja saya mendengar percakapan (baca: nasihat) seorang ibu kepada anaknya setelah si anak menerima laporan hasil nilai (raport) dari sekolahnya. Panjang lebar ibu itu menasehati anaknya, karena mungkin hasil nilai anaknya tak sesuai dengan ekspektasi si ibu. "Tuh lihat si blablabla (sang ibu menyebut nama teman anaknya, saya lupa namanya), dia mah pulang sekolah teh ga suka main, dia mah rajin", suara sang ibu ketika itu cenderung keras yang hampir saya tak bisa membedakan apakah ibu itu sedang menasehati anaknya atau memarahinya. Sejenak terbayang dalam benak saya bagaimana perasaan sang anak itu ketika ibunya berkata seperti itu. Ya, anak itu memang diam tak melawan, hanya mengangguk-ngangguk saja, tapi siapa tahu mungkin dalam hatinya dia merasa dipojokkan, merasa tak diapresiasi kemampuannya, sedih. Kasihan. Juga mungkin sang ibu berkata seperti itu karena ingin memotivasi anaknya, karena bagaimanapun setiap orang tua pasti ingin anaknya mendapatkan yang terbaik. Padahal ada banyak cara yang bisa si ibu lakukan untuk memotivasi anaknya tanpa membandingkannya dengan anak lain. Misalnya si ibu bisa mengiming-iminginya dengan hadiah jika si anak berhasil mengingkatkan prestasinya di lain waktu, lebih banyak meluangkan waktu untuk mengajak dan memandu anaknya belajar, dan masih banyak lagi cara orang tua mendorong anaknya tanpa cara yang malah membuat anaknya tertekan
Membanding-bandingkan anak memang sudah sangat sering kita jumpai, bahkan saya pun pernah menerima dan menelan kalimat seperti itu. Lalu apakah dengan cara itu si anak menjadi terdorong? bisa jadi, tapi tidak semua. Bahkan perlakuan seperti itu cenderung membuat si anak merasa menjadi rendah.
Lalu bagaimana menurut psikolog mengenai hal ini? menurut Kathy Seal (psikolog), "sikap suka membanding-bandingkan tersebut adalah hal yang normal", bahkan ia menyebutnya sebagai insting bertahan hidup alami manusia. Meski begitu membandingkan anak dengan waktu yang terlalu sering dapat berdampak buruk bagi si anak.


Berpengaruh pada harga diri mereka. Bisa dibayangkan ketika orang tua selalu saja membandingkan anaknya dengan yang lain. Masa kecil menjadi tak leluasa, karena merasa dirinya selalu salah, harus menjadi (yang dinilainya) sempurna seperti si A, seperti si B. Juga merasa dirinya rendah dari orang lain. Mungkin mereka tidak menjadi sombong karena merasa rendah, namun tidak berarti harus menjadikan mereka merasa tidak berharga.
Fahami bahwa setiap anak terlahir berbeda dan unik. Jika memang orang tua berharap anaknya berprestasi dalam bidang akademik namun tak sesuai kenyataan, mungkin memang bakat si anak bukan pada akademik. Tanpa kemudian menelantarkan akademik, selayaknya sebagai orang tua terus membantu si anak menemukan bakatnya yang belum ditemukannya.
Dapat menimbulkan kebencian. Ketika sang orang tua membandingkan dengan si A, bisa jadi sang anak tetap biasa saja kepada si A, atau bisa jadi sang anak menjadi kesal terhadap si A karena menganggap A lah yang menyebabkan orang tua nya tidak menghargainya.
Tetap ada di pikiran mereka. Masa kecil merupakan masa dimana setiap informasi dari luar dapat diserap dengan lebih mudah dan menempel lama daripada masa dewasa/tua. Ketika orang tua menganggap kalimat itu hanya celetukan yang tak akan berdampak pada si anak, padahal anaknya dapat selalu mengingat kalimat itu dan menempel di pikirannya yang akhirnya menjadi beban.
Anak merupakan titipan Tuhan yang harus orang tua jaga. Sekali lagi, setiap orang tua pasti ingin yang terbaik bagi anaknya, namun tidak dengan cara yang negatif. Sebaik-baiknya orang tua yang selalu memahami anak-anaknya dan bagus mendidiknya adalah tidak lain Rasulullah SAW. Wallahua'lam bishshawaab.